7.10.10

Tanya Kenapa

Layaknya peringatan iklan rokok. Maka sebelum membaca postingan kali ini, ada baiknya gue mengingatkan bahwa tujuan penulisan kali ini ditujukan untuk mencari jawaban atas pertanyaan kenapa, bukan menggurui atau yang lainnya.



Bahasa Inggris. Kata orang (dan gue), bahasa Inggris itu penting apalagi kalau ditambah dengan embel-embel globalisasi. Bahasa Inggris hukumnya wajib, bukan lagi sekedar keinginan tapi kebutuhan. Nah, sebelumnya gue ingin cerita sedikit soal perjalanan mempelajari bahasa Inggris di kehidupan gue.

Orangtua gue tidak begitu pandai berbahasa Inggris, karena itulah, mereka sangat memotivasi anaknya untuk belajar bahasa Inggris melalui les. Sejak kelas 4 SD, gue sudah mendaftarkan diri di salah satu tempat les yang saat itu bisa dibilang cukup happening, yaitu LIA. Sejak saat itu, gue jadi cukup tertarik dengan bahasa Inggris. Perjalanan mempelajari bahasa Inggris di LIA ini gue tempuh dalam waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya, di kelas 2 SMA gue berhasil lulus dari LIA. Ya, lulus, sampai tingkat paling akhir. Kebayangkan bagaimana cintanya gue dengan LIA?

Image source (click)


Sejak 3 SMA dan kuliah semester awal, gue tidak lagi belajar bahasa Inggris melalui les. Baru di saat kuliah semester 2, gue kembali lagi les di EF Bandung. Pertimbangan gue untuk masuk ke sana adalah karena adanya native speaker. Gue lebih memilih masuk ke kelas conversation dibandingkan general. Kenapa? Entah, tapi jujur saat itu rasanya jenuh sekali dengan hal-hal berbau grammar, meskipun gue akui, gue belum pandai soal ini. Gue justru tertarik conversation karena gue ingin berlatih percakapan dengan native speaker. Aneh memang. Lucunya, orang-orang di sekitar gue seperti bertanya-tanya untuk apa gue ambil kelas conversation. Padahal kalau sekedar bercakap-cakap dengan bahasa Inggris bisa dilakukan kapanpun, di manapun, dengan siapapun, dan tanpa mengeluarkan biaya. Tapi, apa iya kalian lakukan? Kalau memang kalian lakukan, berarti gue sangat mengapresiasi hal tersebut.

Kalau begitu, mungkin gue harus mulai cerita soal tingkat selanjutnya. Setelah selesai 3 bulan belajar di kelas conversation, gue beralih ke general, kembali belajar grammar, masih di tempat les yang sama. Gue mengambil les yang mulai jam 4 sore dengan alasan pas dengan jadwal kuliah. Apa yang gue temukan dengan kelas baru ini? Teriakan dan celotehan anak-anak berseragam biru. Biru. Bahkan bukan abu-abu. Mereka adalah murid-murid SMP swasta yang akan sekelas sama gue. Mau tahu isi kelasnya? Mayoritas murid SMP, empat orang murid SMA, dan satu anak kuliahan bermuka muda, yaitu gue. Sedih. Seketika yang ada di benak gue hanya pertanyaan-pertanyaan, apakah mereka yang terlalu pintar atau gue yang terlalu bodoh? Harus gue akui, mereka semua ini memang pintar. Begitu gurunya datang, celotehan mereka sekejap berubah menjadi bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya bagus dan cara mengucapkannya memang benar. Hebat.

Dikarenakan mental gue yang mendadak lemah ini, jadilah gue memutuskan mengganti jam, menjadi jam 6 sore. Payah memang. Benar saja, pada jam-jam segini yang ada adalah mayoritas mahasiswa-mahasiswi dan tiga anak SMA. Menyenangkan? Ya lumayan, paling tidak mereka tidak seribut anak-anak SMP sebelumnya. Singkatnya, lebih terkontrol. Tapi ada beberapa hal yang tidak gue mengerti kalau gue membandingkan kedua kelas ini.

Image source (click)


Meskipun ini bukan kelas conversation di mana secara tidak langsung mengharuskan kita untuk berbahasa Inggris, tapi kenapa anak-anak kuliah dan SMA ini lebih cenderung menggunakan bahasa Indonesia saat mengobrol? Di mana letak kesadaran bahwa tujuan belajar di EF ini untuk melatih bahasa Inggris dari segala aspek? Sedangkan, murid SMP yang baru sehari gue temui, memiliki kesadaran lebih tinggi untuk berbahasa Inggris, tanpa harus diingatkan?

Atau karena mereka (murid SMP) sedang berada di masa-masa aktifnya? Tapi tunggu, bukankah seharusnya kami sudah melalui masa aktif ini dan sudah sewajarnya kami malah tidak perlu malu-malu lagi, melainkan bertambah aktif.

Oh, atau mungkin karena alasan klise yang menyebutkan ketika seorang teman berbahasa Inggris malah justru dicibir karena dianggap sok atau berlebihan? Tapi ketika sedang berada di tempat les, bukankah lebih baik memanfaatkan kesempatan untuk lebih banyak menggunakan bahasa Inggris?

Pertanyaan di atas, tidak hanya dimaksudkan untuk teman-teman sekelas gue di EF, tetapi juga bentuk introspeksi gue sendiri, karena masih sering seperti ini. Sedikit catatan, bagi mereka yang mungkin tidak setuju kalau gue membandingkan kesadaran murid SMP dengan SMA dan mahasiswa bahwa pada dasarnya umur atau tingkat pendidikan tidak bisa menjadi tolak ukur kedewasaan atau kesadaran seseorang. Tapi, seharusnya umur bisa dijadikan sebagai motivator dasar, misalnya dengan pertanyaan kecil berikut, "Masak saya yang umurnya segini masih saja kaya begini?".

Fanny :)

No comments:

Post a Comment