Beberapa waktu yang lalu gue sempat cerita soal
Mbak Asih dan Mbak Mul di blog ini. Dan ketakutan akan suatu hari Mbak Asih
nikah dan gak lagi kerja di rumah pun terjadi.
Photo: Author |
Terakhir kali gue pamit adalah saat mau menuju
Korea. Berat rasanya waktu mau menuju PP-PON, soalnya gue udah tahu kalau
sepulangnya dari program, mereka mungkin sudah pergi ke Tegal, tempat asli
mereka. Sebelum berangkat, gue salaman dan peluk-pelukan, dan mengingat gue
anaknya sensitif, pasti di bagian ini ada acara nangisnya segala. Walaupun kemarin
sempat sok tegar dengan gak nangis banyak-banyak.
Saat fase Indonesia, gue dapat BBM dari kakak
yang menyebutkan Mbak Asih dan Mbak Mul hari itu pulang ke Tegal. Lemes
seada-adanya pagi itu. Gue ada di salah satu hotel di Kuningan (ya karena masih
program) dan keluarga gue di rumah siap mengantar mbak ke terminal. Sementara
itu, gue cuma bisa kasih selamat tinggal dan maaf-maafan lewat telepon, diujung
telepon sama-sama menangis kencang, bergantian Mbak Asih dan Mbak Mul.
"I’ve been living with Mbak Asih for almost 18 years. It’s kinda hard to let her go and face the truth that she won’t be around anymore."
Setelah telepon dan selama program berjalan,
gue mulai agak melupakan itu. Sampai akhirnya 10 November yang lalu program
selesai, gue kembali lagi ke rumah. Ada wajah yang berbeda di pintu rumah, gak
ada lagi senyumnya Mbak Asih atau Mbak Mul yang biasanya nyapa sambil bilang, “Eh,
Ade!”, setiap kali gue pulang dari Bandung. Gue kembali sadar dan ingat, mereka
udah gak kerja lagi di rumah. Gue cuma bisa duduk sambil bengong dan nangis,
dipeluk mama biar sabar. I miss you, Mbak!
P.S
I even cried while I
was typing this.
No comments:
Post a Comment